Paket Deregulasi Perbankan Tahun 80′an-90′an
Tahun 1983
Tahun 1983
Pemerintah mengeluarkan kebijakan deregulasi di sektor moneter, khususnya perbangkan, lewat kebijakan 1 Juni 1983. Deregulasi ini menyangkut tiga segi: peningkatan daya saing bank pemerintah, penghapusan pagu kredit, dan pengaturan deposito berjangka. Dalam ketentuan itu, bank pemerintah bebas menentukan suku bunga deposito serta suku bunga kredit. Langkah ini dimaksudkan agar masyarakat yang memiliki dana nganggur tertarik untuk menyimpan di bank pemeintah. Sebab pada saat itu, suku bunga yang ditawarkan oleh bank swasta lebih tinggi ketimbang bank pemerintah. Yaitu 18 persen, sementara bank pemerintah hanya 14-15 persen.
Tahun 1985
Pemerintah memberlakukan Inpres Nomor 4 Tahun 1985 yang mengalihkan tugas dan wewenang Ditjen Bea dan Cukai (BC) dalam pemeriksaan barang kepada surveyor asing SGS. Ini sama saja dengan pemerintah memberikan kepercayaan penuh kepada pihak asing (SGS) dalam memeriksa barang. Keluarnya Inpres Nomor 4, tak lain sebagai reaksi pemerintah atas penyalahgunaan wewenang oleh BC yang banyak diributkan oleh dunia usaha.
Tahun 1986
Lewat paket kebijakan 6 Mei (Pakem), pemerintah menghapus sertifikat ekspor (SE). SE merupakan fasilitas empuk yang banyak digunakan eksportir untuk memperoleh pengembalian bea masuk dan unsur subsidi, ini diberikan bersamaan dengan kredit ekspor.
Tahun 1987
Pemerintah mengeluarkan deregulasi 15 Januari 1987, tentang industri kendaraan bermotor, mesin industri, mesin listrik, dan tarif bea masuk. Untuk bea masuk, pemerintah memberikan keringanan bea terhadap barang-barang tertentu, seperti Tekstil, kapas, dan besi baja. Sedangkan untuk industri mesin pemerintah memberikan perlakuan kemudahan ijin usaha. Dan untuk industri kendaraan bermotor, pemerintah memberikan kemudahan perakitan kendaraan dan pembuatan dan perakitan bagian kendaraan bermotor.
Juni 1987
Pemerintah mengeluarkan paket deregulasi, lewat PP Nomor 13 Tahun 1987 dan Keppres Nomor 16. Kali ini pemerintah menyederhanakan perijinan investasi bidang pertambangan, pertanian, kesehatan dan perindustrian. Yang semula ada empat ijin investasi, setelah kebijakan itu hanya tinggal dua.
24 Desember 1987
Pemerintah kembali membuat kejutan dengan memberikan kemudahan dan kelonggaran berusaha. Dalam bidang penamanan modal, PMA diperlakukan sama dengan PMDN dalam hal kepemilikan saham. Untuk fasilitas keringanan bea masuk, semula hanya diberikan kepada barang tertentu, kini diberikan keringanan bea masuk untuk semua bidang usaha yang diijinkan. Untuk ekspor, pemerintah menghapus semua perijinan ekspor dan menggantinya dengan ijin usaha. Sementara perusahaan asing yang sudah berproduksi dan bisa ekspor, diijinkan untuk membeli hasil produksi perusahaan lain untuk di ekspor. Sedangkan bidang ekspor, PT Kratau Steel yang selama itu ditunjuk sebagai pelaksana 92 komoditi produk industri logam, dengan kebijakan baru hak impornya hanya tinggal 50 komoditi. Dan untuk bidang pariwisata yang semula ada 33 jenis ijin, dengan kebijakan Desember itu, dipotong tinggal dua ijin.
Tahun 1988
Inilah tahun booming dunia perbankan Indonesia. Bayangkan, hanya dengan modal Rp 10 milyar, seorang pengusaha punya pengalaman atau tidak sebagai bankir, sudah bisa mendirikan bank baru. Maka, tak pelak lagi berbagai macam bentuk dan nama bank baru bermunculan bagai jamur di musim hujan. Itulah salah satu bentuk kebijakan deregulasi 27 Oktober 1988, atau yang dikenal dengan sebutan Pakto 88. Tak hanya itu, bank asing yang semula hanya beroperasi di Jakarta, kini bisa merentangkan sayapnya ke daerah lain di luar Jakarta. Sementara untuk mendirikan bank perkreditan, modal yang disetor menurut Pakto 88, hanya Rp 50 juta seseorang sudah bisa punya bank BPR.
21 November 1988
Pemerintah kembali mengeluarkan paket deregulasi, yang berisi pengikisan berbagai rintangan yang selama ini malang-melintang di sekitar arus distribusi barang dan angkutan laut, pemudahan distribusi arus barang produk pabrik-pabrik modal asing, penurunan bea masuk bahan baku plastik dari 30-60 persen menjadi lima persen. Lalu, terhadap kritikan monopoli PT Krakatau Steel, lewat paket November ini, pemerintah membabat 26 jenis tarif pos. Dengan penghapusan itu, pabrik-pabrik boleh impor besi baja untuk pengecoran, yang selama ini dikuasai oleh buatan pabrik baja di Cilegon itu.
Tahun 1990
Pemerintah membuat gebrakan di sektor moneter, khususnya perbankan, lewat Paket Januari 1990 (Pakjan 90), bank-bank umum wajib mengalokasikan 20 persen dari total kreditnya, kepada pengusaha lemah. Atau maksimal kredit yang diberikan kepada pengusaha lemah Rp 200 juta. Namun, dalam Pakjan 90 ini yang masuk kategori usaha lemah adalah usaha yang beraset maksimal Rp 600 juta.
Mei 1990
Pemerintah kembali mengeluarkan paket deregulasi yang menyangkut empat sektor pembangunan: industri, perdagangan, kesehatan, dan pertanian. Dari empat sektor yang disentuh deregulasi itu, sektor otomotif, impor gandum, kelapa sawit, dan bahan baku plastik belum masuk dalam cacatan deregulasi yang dinamai Pakmei 90 itu. Untuk bidang pertanian dibebaskan dari tata niaga atas komoditas pala, sayur-sayuran dari Sumetera Utara, tengkawang, kayu manis, serta kopi. Lalu untuk bidang perijinan, satu ijin peternakan berlaku untuk semua jenis ternak, beternak, pemotongan hewan, dan produksi hewan. Bidang kesehatan, terjadi penyerdehanaan ijin usaha untuk industri farmasi, perdagangan besar farmasi, apotek, industri obat, pendaftaran obat, tata niaga impor, dan bahan baku obat. Sementara untuk perdagangan terjadi pengurangan dan penambahan pos baru. Pengurangan terjadi dari 9.549 menjadi 9.250 pos tarif dan terdapat penambahan 387 pos baru.
Tahun 1991
Tampaknya bulan Juni, dijadikan bulan yang tepat untuk mengumumkan kebijakan-kebijakan pemerintah. Tak heran bila pada Juni 1991, pemerintah kembali “meluncurkan” serangkaian paket deregulasi bidang: investasi, industri, pertanian, perdagangan, dan keuangan. Inti dari deregulasi kali ini adalah pembabatan hak monopoli enam persero pemerintah (Pantja Niaga, Kertas Niaga, Dharma Niaga, Mega Eltra, Sarinah, dan Krakatau Steel. Khusus untuk baja, KS harus rela melepaskan 60 hak impornya kepada importir produsen. Sementara untuk makanan, buah-buahan, dan daging, pengencer di dalam negeri bebas mengimpor dari luar negeri. Namun, importir terkena bea masuk 20 persen. Untuk otomotif, pemerintah membuka keran impor kendaran niaga kategori I sampai V dan termasuk kendaraan serba guna (jip). Namun, yang boleh mengimpor hanyalah para agen tunggal dan importir yang ditunjuk (enam persero pemerintah). Bukti paling dramatis akibat deregulasi ini, adalah dibukanya keran impor kendaraan truk, harga truk anjlok.
Tahun 1992
Tanggal 6 Juli 1992, Pemerintah kembali mengeluarkan paket deregulasi di bidang investasi, perdagangan, keuangan, tenaga kerja, pertanahan, IMB dan UUG/HO. Berisi antara lain, mengijinkan HGU dan HGB oleh usaha patungan dalam rangka penanaman modal asing dalam jangka waktu 30 tahun. Keputusan lainnya dari deregulasi yang dinamakan Pakjul itu, pembebasan tata niaga terhadap 241 pos tarif. Terdiri atas 226 pos tarif mengenai batik, 12 pos tarif pertanian, 1 pos tarif air mineral, 1 pos tarif produk logam, dan 1 pos tarif transformator listrik. Untuk bea masuk hanya diberikan kepada 36 pos tarif besi baja. Sementara untuk impor mesin bukan baru hanya dapat diimpor oleh perusahaan sendiri atau industri rekondisi. Mengenai tenaga kerja asing, dengan deregulasi itu, untuk memperoleh ijin tidak perlu ada rekomendasi dari departemen teknis.
Tahun 1993
Sektor moneter kembali disentuh melalui deregulasi Mei 1993 (Pakmei 93). Lewat Pakmei, capital adequency ratio (CAR) atau rasio kecukupan modal diperlonggar. Dengan peningkatan CAR, bank dipastikan akan lebih leluasa memberikan kredit. Pemerintah juga menyederhanakan ketentuan loan deposit ratio (LDR) atau pemberian kredit kepada pihak ketiga. Dengan ketentuan ini bank hanya diberikan 20 persen untuk menyalaurkan kredit kepada grupnya sendiri.Yang menarik dari kebijakan ini, KUK dibawah Rp 25 juta dapat digunakan untuk kegiatan tidak produktif.
10 Juni 1993
Pemerintah kembali “menggebrak” lewat paket deregulasi di bidang otomotif. Sejumlah bea masuk yang dianggap menghambat pengembangan industri otomotif, dipangkas. Untuk kategori sedan, jika kandungan lokal telah mencapai 60 persen maka akan dikenakan bea masuk nol persen. Pick-up, minibus, dengan kandungan lokal 40 persen akan dikenakan bea masuk nol persen. Sedangkan untuk truk, bus, dan sepeda motor, masing-masing akan dikenakan nol persen jika mencapai kandungan lokal lebih dari 30 dan 40 persen. Pemerintah juga membuka keran impor kendaraan bermotor dalam bentuk utuh (build-up) dari negara lain. Jika kendaraan impor sudah dirakit di dalam negeri maka pemerintah akan mengenakan bea masuk 200 persen. Sedangankan yang belum pernah dirakit di dalam negeri pemerintah mengenakan 300 persen bea masuk. Selain otomotif pemerintah juga membuat kejutan dengan menarik tepung terigu dari daftar negatif investasi (DNI). Dengan begini, investor yang berminat di tepung terigu punya peluang untuk membangun pabriknya.
Tahun 1994
Lewat PP Nomor 20 Tahun 1994, pemerintah membuka pintu lebar-lebar kepada PMA untuk “menabur” duitnya disegala bidang dan sektor ekonomi. Bahkan sektor yang yang banyak berhubungan dengan hajat hidup orang banyak terbuka 95 persen bagi PMA. Dalam patungan membangun perusahaan dengan mitra lokal, sebelum PMA hanya diberikan 45 persen saham, dengan PP itu, PMA bisa menguasai 95 persen saham. Mungkin inilah satu-satunya deregulasi yang membuat Menteri Penerangan Harmoko, marah. Pasalnya, ia merasa tidak diajak konsultasi guna penyusunan PP tersebut. Maklum saja, PP Nomor 20 dinilai banyak bertentangan dengan UU Pokok Pers Tahun 1982. Belakangan beleid mengenai PMA ini dikoreksi, sehingga ada beberap sektor yang “haram” dimasuki oleh PMA. Ya, bidang pers salah satunya.
Tahun 1995
Dengan kebijakan yang dinamaan Paket Mei 1995 (Pakmei 95), pemerintah mengeluarkan paket deregulasi atas lima bagian : tarif bea masuk dan masuk tambahan, tata niaga impor, penaman modal, perijinan, restrukturisasi usaha, dan entrepot produsen tujuan ekspor serta kawasan berikat. Dalam tarif, terjadi penurunan 6.030 dari 9.408 pos tarif. Pemerintah juga menghapus bea masuk tambahan terhadap 95 produk, merubah tata niaga dan kontrol terhadap 81 produk. Dalam Pakmei ini, penurunan tarif bea masuk akan diturunkan secara bertahap.
Tahun 1996
26 Januari 1996, Pemerintah mengeluarkan paket deregulasi, untuk bidang industri, perdagangan, dan keuangan. Makna deregulasi kali ini masih tidak bergeser dari deregulasi sebelumnya, yaitu penurunan bea masuk. Selain itu diberikannya fasilitas perpajakan guna meningkatkan ekspor non migas.
4 Juni 1996
Pemerintah kembali mengeluarkan 11 langkah kebijakan deregulasi. Meliputi : (1) penjadwalan penurunan tarif bea masuk, (2) perubahan tarif bea masuk barang modal, (3) penghapausan bea masuk tambahan, (4) penyederhaan tata niaga impor, (5) ketentuan anti-dumping, (6) kemudahan ekspor, (7) kemudahan layanan eksportir tertentu untuk bidang tertentu, (8) penyederhanan perijinan industri di kawasan industri, (9) peneyelenggaran temapt penimbunan, (10) kelonggaran kegiatan ekspor-impor bagi perusahaan PMA manufaktur, (11) penyerdahanaan prosedur impor limbah untuk bahan baku industri. Untuk penurunan tarif bea masuk, telah ditrunkan sebanyak 1.497 pos tarif dari 7.288 pos tarif.
Dalam rangka menghadapi praktek anti-dumping dan melindungi industri dalam negeri, pemerintah memberlakukan PP tentang bea masuk anti dumping dan bea masuk imbalan. Untuk itu pemerintah membentuk Komite Anti Dumping Indonesia (KADI). Sementara untuk mendorong ekspor, pemerintah menghapus kewajiban penggunaan PEB dari Rp 10 juta menjadi Rp 100 juta. Pemerintah juga menyederhanakan perijinan kawasan berikat. Bagi perusahaan yang telah bermukim di kawasan industri tidak diwajibkan memiliki perijinan selama memperoleh persetujuan PMA dari presiden , atau dari BKPM untuk PMDN.
Tahun 1997
Inilah deregulasi yang oleh banyak kalangan dinilai sudah kehilangan momentumnya. Karena, deregulasi kali ini adalah deregulasi tertunda yang seharusnya bulan lalu diumumkan. Isi paket deregulasi: pemangkasan 1.600 pos tarif bea masuk untuk berbagai produk sektor pertanian, perdagangan dan kesehatan. Deregulasi yang dikeluarkan 7 Juli 1997 itu, diikuti juga dengan peraturan pemerintah (PP) mengenai penerimaan pajak dan retribusi daerah, dan pembatasan pemberian kredit oleh bank untuk pengadaan dan pengolahan tanah.(google)
Analisa
DEREGULASI perbankan sudah digulirkan sejak 16 tahun lalu. Kesan bongkar pasang itu tak terhindarkan.sangat terasa bahwa aturan-aturan perbankan Indonesia pada saat itu memang tak didasari pengalaman negara-negara lain yang sudah lebih lama mengatur soal-soal bank.Beberapa kebijakan-kebjakan yang di keluarkan pemerintah pada saat itu seperti: memberikan keleluasaan kepada bank-bank untuk menentukan suku bunga deposito, Kemudian dihapusnya campur tangan Bank Indonesia terhadap penyaluran kredit, bank-bank asing yang baru masuk diijinkan membuka cabangnya di enam kota, dan beberapa kebijakan lainnya menyebabkan banyaknya jumlah Bank yang didirikan pada saat itu. Dengan banyaknya jumlah bank tersebut menyebebkan kompetisi pencarian tenaga kerja, mobilisasi dana deposito dan tabungan juga semakin sengit. Ujung-ujungnya, karena bank terus dipacu untuk mencari untung, sisi keamanan penyaluran dana terabaikan, dan akhirnya kredit macet menggunung. Keadaan tersebut merupakan salah satu faktor yang mnyebabkan terjadinya krisis ekonomi yang sangat besar pada saat itu. Dan kini seiring berjalannya waktu guna memperbaiki keadaan perekonomian di Indonesia kebijakan-kebijakan tersebut telah di ganti dengan kebijakan-kebijakan pemerintah yang baru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar