Krisis
moneter yang melanda negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia, telah menyebabkan
rusaknya sendi-sendi perekonomian nasional. Krisis moneter menyebabkan
terjadinya imported inflation sebagai akibat dari terdepresiasinya secara tajam
nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, yang selanjutnya mengakibatkan
tekanan inflasi yang berat bagi Indonesia. Fenomena inflasi di Indonesia
sebenarnya semata-mata bukan merupakan suatu fenomena jangka pendek saja dan
yang terjadi secara situasional, tetapi seperti halnya yang umum terjadi pada
negara-negara yang sedang berkembang lainnya, masalah inflasi di Indonesia
lebih pada masalah inflasi jangka panjang karena masih terdapatnya
hambatan-hambatan struktural dalam perekonomian negara.
Negara Indonesia yang saat ini
sedang dilanda inflasi akibat volatile food price atau gejolak kenaikan harga
pangan. Harga pangan pun tak stabil, pantauan ketidakstabilan seperti halnya
kebutuhan pangan pokok. Harga beras pun kian naik harganya, sempat menyentuh
kisaran harga Rp 7.500/kg untuk beras medium. Belum lagi harga kebutuhan pangan
lainnya yang terus kian mahal, sedangkan masyarakat banyak yang mengeluh. Tak
bisa dipungkiri, inflasi pun dikuwatirkan akan meningkatkan angka kemiskinan tahun
2011.
Inflasi indonesia tak luput dari inflasi yang cukup tinggi mendekati angka 1%. tercatat inflais desember 2010 mencapai 0,92%, sedangkan inflasi tahunan (year on year/ yoy) jan -des 2010 sebesar 6,96%.
Bps mencatat angka kemiskinan indonesoa sejak 5 tahun selalu mengalami penurunan, bisa dilihat bahwa jumlah penduduk miskin dari tahun maret 2009-maret 2010 berhasik turun 1,51 juta menjadi 31,20 juta atau 13,33% orang miskin. walau mengalami penuruan, jumlah tersebut masih dianggap tinggi karena melihat kenyataan bahwa masih banyaknya jumlah masyarakat yang masih menerima subsidi untuk bereskan untuk beras Raskin (Beras Miskin) dari pemerintah.
Outlook ekonomi dunia
2010-2011, adanya peningkatan pertumbuhan ekonomi yang tidak stabil. Melongok
pertumbuhan ekonomi di AS dan Eropa saat ini, terlihat stagnan dan masih
terbelit soal konsolidasi, restrukturisasi utang. Sementara itu, Dollar AS dan
Euro mengalami perlemahan nilai yang berkelanjutan, As juga masih akan melanjutkan
kebijakan moneter ekspansif atau quantitative easing untuk mendorong
perekonomiannya. Di lain hal, AS dan China terlibat perang kurs, dimana China
menentang penyesuaian mata uang renmimbi dengan dalil akan mengerus daya saing
China.
Kondisi di negara berkembang
sendiri, banyaknya arus modal asing deras dan mengalir lancar membanjiri, namun
menimbulkan masalah baru yaitu terjadinya ekses likuiditas valuta asing. Belum
lagi dampak inflasi yang terjadi di karena volatile food price yang melanda
beberapa negara berkembang yang tidak memiliki sumber daya memadai untuk
mengurangi volatilitas yang secara langsung maupun tidak yang dikarenakan
dampak dari adanya ketidakseimbangan gejolak perekonomian global.
Gambaran sekilas akan risiko
terbesar yang dihadapi dunia di tahun bershio kelinci ini, adalah kenaikan
masalah inflasi yang dipicu dari masalah likuiditas dari ketidakseimbangan
global dan kenaikan harga pangan dan energi. Tentunya kenaikan inflasi global
ini jika dibiarkan akan menurunkan daya beli dan daya saing perekonomian.
Berbagai cara untuk menanggulangi inflasi diserukan, seperti halnya menaikan
suku bunga kebijakan (policy rate) atau kebijakan lain untuk mengelola
terjadinya ekses likuiditas melalui pajak, giro wajib minimum, atau memberi
disentif bagi pemodal jangka pendek. Adapun efek samping negatif dari kebijakan
tersebut, yaitu ketidakseimbangan nilai tukar dan hambatan dalam ekspansi
ekonomi.
Indonesia, saat ini sedang
menghadapi masalah inflasi yang dinilai mulai memasuki batas level mengkuatirkan
dan haruslah segera dilakukan tindakan nyata. Walau banyak pakar ekonomi
berpendapat bahwa inflasi dapat diatasi dengan menaikan suku bunga acuan atau
BI Rate. Tidak halnya dengan Bank Indonesia, yang belum bersedia untuk
menaikkan angka BI rate dan tetap mempertahankan di kisaran level 6,5%. BI pun
perpendapat inflasi yang terjadi tersebut disebabkan bukan karena faktor
moneter, namun bersumber dari gangguan ketersediaan bahan pangan (supply shock)
yang disebabkan anomali cuaca.
Dalam forum Devos kemarin,
kesejahteraan Indonesia terkait erat dengan masalah keuangan, energi dan pangan
ditambah dengan pentingnya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim dan masalah
pengentasan kemiskinan. Indonesia mempunyai banyak potensi untuk bisa
meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang positif dan memuaskan di tahun 2011 ini
sehinga bisa menarik banyak investor untuk berinvestasi.
Untuk masalah pangan dan
energi, harus memperhatikan sisi pasokan, yaitu kenaikan produksi adalah yang
paling utama untuk diupayakan dengan biaya yang se-efisien mungkin. Semua itu
diseimbangkan juga dari sisi permintaan, yaitu upaya peningkatan daya beli dan
daya saing yang essensial, kebijakan fiskal dan moneter.
Dampak inflasi terhadap angka
kemiskinan
Meskipun inflasi tidak selalu
berdampak buruk bagi perekonomian, terutama inflasi yang terkendali justru
dapat meningkatkan kegiatan perekonomian, namun salah satu akibat yang
ditimbulkan inflasi terhadap kegiatan ekonomi masyarakat antara lain, menurunnya
daya beli masyarakat yang berpenghasilan tetap. Kenaikan laju inflasi serta
ukuran garis kemiskinan, tidak serta-merta menaikkan atau menurunkan angka
kemiskinan. Sebab, angka kemiskinan juga dipengaruhi oleh peningkatan
pendapatan dan efektivitas beberapa kebijakan yang dilakukan pemerintah, baik
pemerintah pusat maupun daerah. apakah ada peningkatan pendapatan penduduk dan
apakah program (penanggulangan kemiskinan) seperti raskin, Jamkesmas, BOS/biaya
operasional sekolah, perbaikan rumah layak huni sudah berjalan efektif. Inflasi
kelompok bahan makanan tertinggi terjadi pada tahun 2005 mencapai level 20,19
persen, pada tahun 2008 ketika pemerintah membuat kebijakan menaikkan kembali
harga BBM mengakibatkan inflasi pada kelompok bahan makanan mencapai 18,29
persen, tahun 2010 inflasi kelompok bahan makanan kembali meningkat yaitu 17,22
persen.
Mengenai Proporsi Pengeluaran
Makanan Penduduk Miskin, lanjut dia ukuran Garis Kemiskinan (GK), terdiri dari
Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Bukan Makanan (GKBM).
Peranan GKM terhadap GK sangat dominan, ini diartikan sebagai proporsi
pengeluaran untuk makanan pada penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan
lebih besar dari pengeluaran untuk non makanan, di Kota Pontianak pada periode
2004-2006 pengeluaran penduduk miskin untuk makanan menunjukkan trend menurun,
Pada tahun 2007 persentase pengeluaran penduduk miskin untuk makanan
menunjukkan kecenderungan meningkat hingga 65,12 persen terhadap rata-rata
pengeluaran sebulan, bahkan proporsi pengeluaran untuk makanan penduduk di
bawah garis kemiskinan secara nasional semakin meningkat yaitu mencapai 73,6
persen pada bulan Maret 2009 dan 73,5 persen pada bulan Maret 2010. Tingginya
proporsi pengeluaran makanan terhadap total pengeluaran menyebabkan kelompok
penduduk yang berada dekat dengan garis kemiskinan sangat rentan dengan
kenaikan harga bahan makanan, Meningkatnya harga pangan bisa berakibat
meningkatnya angka kemiskinan.
Dua faktor untuk menghitung
angka kemiskinan, yakni ukuran garis kemiskinan dan pendapatan. Sementara angka
kemiskinan dipengaruhi oleh kemampuan atau daya beli orang miskin dalam
mempertahankan kebutuhan dasarnya, pemenuhan kebutuhan dasar setiap orang
berbeda, yakni bisa berasal dari pendapatan pribadi maupun kombinasi antara pendapatan
masyarakat dan efektivitas bantuan pemerintah melalui berbagai program
pengentasan kemiskinan yang dilaksanakan. Orang yang berpendapatan tak cukup
tapi kebutuhan dasarnya dipenuhi dari raskin, jamkesmas, BOS, bantuan rumah
layak huni dan semacamnya, dapat terhindar dari kemiskinan.
Tingginya inflasi Bahan makanan
dapat dijadikan bahan evaluasi dalam menanggulangi kemiskinan, mengingat
proporsi pengeluaran penduduk miskin untuk makanan sangat besar, Pemerintah
daerah bisa berperan aktif dalam upaya pengendalian inflasi terutama dari sisi
suplai, dengan menjaga kesinambungan suplai terutama bahan pokok (beras, minyak
goreng, gula dan lainnya) terhadap permintaan. Bank Indonesia mengendalian
inflasi dari instrumen moneter seperti pengaturan suku bunga, menjaga nilai
tukar, sementara inflasi didaerah lebih disebabkan oleh persoalan supply.
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar