WeLcoMe To my Blog

_WELCOME TO MY BLOG_

Kamis, 26 April 2012

BENEFIT OF ACCOUNTING FOR POVIERTY ALLEVIATION


Krisis moneter yang melanda negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia, telah menyebabkan rusaknya sendi-sendi perekonomian nasional. Krisis moneter menyebabkan terjadinya imported inflation sebagai akibat dari terdepresiasinya secara tajam nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, yang selanjutnya mengakibatkan tekanan inflasi yang berat bagi Indonesia. Fenomena inflasi di Indonesia sebenarnya semata-mata bukan merupakan suatu fenomena jangka pendek saja dan yang terjadi secara situasional, tetapi seperti halnya yang umum terjadi pada negara-negara yang sedang berkembang lainnya, masalah inflasi di Indonesia lebih pada masalah inflasi jangka panjang karena masih terdapatnya hambatan-hambatan struktural dalam perekonomian negara.

Negara Indonesia yang saat ini sedang dilanda inflasi akibat volatile food price atau gejolak kenaikan harga pangan. Harga pangan pun tak stabil, pantauan ketidakstabilan seperti halnya kebutuhan pangan pokok. Harga beras pun kian naik harganya, sempat menyentuh kisaran harga Rp 7.500/kg untuk beras medium. Belum lagi harga kebutuhan pangan lainnya yang terus kian mahal, sedangkan masyarakat banyak yang mengeluh. Tak bisa dipungkiri, inflasi pun dikuwatirkan akan meningkatkan angka kemiskinan tahun 2011.
Inflasi indonesia tak luput dari inflasi yang cukup tinggi mendekati angka 1%. tercatat inflais desember 2010 mencapai 0,92%, sedangkan inflasi tahunan (year on year/ yoy) jan -des 2010 sebesar 6,96%.
Bps mencatat angka kemiskinan indonesoa sejak 5 tahun selalu mengalami penurunan, bisa dilihat bahwa jumlah penduduk miskin dari tahun maret 2009-maret 2010 berhasik turun 1,51 juta menjadi 31,20 juta atau 13,33% orang miskin. walau mengalami penuruan, jumlah tersebut masih dianggap tinggi karena melihat kenyataan bahwa masih banyaknya jumlah masyarakat yang masih menerima subsidi untuk bereskan untuk beras Raskin (Beras Miskin) dari pemerintah.

Outlook ekonomi dunia 2010-2011, adanya peningkatan pertumbuhan ekonomi yang tidak stabil. Melongok pertumbuhan ekonomi di AS dan Eropa saat ini, terlihat stagnan dan masih terbelit soal konsolidasi, restrukturisasi utang. Sementara itu, Dollar AS dan Euro mengalami perlemahan nilai yang berkelanjutan, As juga masih akan melanjutkan kebijakan moneter ekspansif atau quantitative easing untuk mendorong perekonomiannya. Di lain hal, AS dan China terlibat perang kurs, dimana China menentang penyesuaian mata uang renmimbi dengan dalil akan mengerus daya saing China.

Kondisi di negara berkembang sendiri, banyaknya arus modal asing deras dan mengalir lancar membanjiri, namun menimbulkan masalah baru yaitu terjadinya ekses likuiditas valuta asing. Belum lagi dampak inflasi yang terjadi di karena volatile food price yang melanda beberapa negara berkembang yang tidak memiliki sumber daya memadai untuk mengurangi volatilitas yang secara langsung maupun tidak yang dikarenakan dampak dari adanya ketidakseimbangan gejolak perekonomian global.

Gambaran sekilas akan risiko terbesar yang dihadapi dunia di tahun bershio kelinci ini, adalah kenaikan masalah inflasi yang dipicu dari masalah likuiditas dari ketidakseimbangan global dan kenaikan harga pangan dan energi. Tentunya kenaikan inflasi global ini jika dibiarkan akan menurunkan daya beli dan daya saing perekonomian. Berbagai cara untuk menanggulangi inflasi diserukan, seperti halnya menaikan suku bunga kebijakan (policy rate) atau kebijakan lain untuk mengelola terjadinya ekses likuiditas melalui pajak, giro wajib minimum, atau memberi disentif bagi pemodal jangka pendek. Adapun efek samping negatif dari kebijakan tersebut, yaitu ketidakseimbangan nilai tukar dan hambatan dalam ekspansi ekonomi.

Indonesia, saat ini sedang menghadapi masalah inflasi yang dinilai mulai memasuki batas level mengkuatirkan dan haruslah segera dilakukan tindakan nyata. Walau banyak pakar ekonomi berpendapat bahwa inflasi dapat diatasi dengan menaikan suku bunga acuan atau BI Rate. Tidak halnya dengan Bank Indonesia, yang belum bersedia untuk menaikkan angka BI rate dan tetap mempertahankan di kisaran level 6,5%. BI pun perpendapat inflasi yang terjadi tersebut disebabkan bukan karena faktor moneter, namun bersumber dari gangguan ketersediaan bahan pangan (supply shock) yang disebabkan anomali cuaca.

Dalam forum Devos kemarin, kesejahteraan Indonesia terkait erat dengan masalah keuangan, energi dan pangan ditambah dengan pentingnya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim dan masalah pengentasan kemiskinan. Indonesia mempunyai banyak potensi untuk bisa meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang positif dan memuaskan di tahun 2011 ini sehinga bisa menarik banyak investor untuk berinvestasi.

Untuk masalah pangan dan energi, harus memperhatikan sisi pasokan, yaitu kenaikan produksi adalah yang paling utama untuk diupayakan dengan biaya yang se-efisien mungkin. Semua itu diseimbangkan juga dari sisi permintaan, yaitu upaya peningkatan daya beli dan daya saing yang essensial, kebijakan fiskal dan moneter.

Dampak inflasi terhadap angka kemiskinan

Meskipun inflasi tidak selalu berdampak buruk bagi perekonomian, terutama inflasi yang terkendali justru dapat meningkatkan kegiatan perekonomian, namun salah satu akibat yang ditimbulkan inflasi terhadap kegiatan ekonomi masyarakat antara lain, menurunnya daya beli masyarakat yang berpenghasilan tetap. Kenaikan laju inflasi serta ukuran garis kemiskinan, tidak serta-merta menaikkan atau menurunkan angka kemiskinan. Sebab, angka kemiskinan juga dipengaruhi oleh peningkatan pendapatan dan efektivitas beberapa kebijakan yang dilakukan pemerintah, baik pemerintah pusat maupun daerah. apakah ada peningkatan pendapatan penduduk dan apakah program (penanggulangan kemiskinan) seperti raskin, Jamkesmas, BOS/biaya operasional sekolah, perbaikan rumah layak huni sudah berjalan efektif. Inflasi kelompok bahan makanan tertinggi terjadi pada tahun 2005 mencapai level 20,19 persen, pada tahun 2008 ketika pemerintah membuat kebijakan menaikkan kembali harga BBM mengakibatkan inflasi pada kelompok bahan makanan mencapai 18,29 persen, tahun 2010 inflasi kelompok bahan makanan kembali meningkat yaitu 17,22 persen.

Mengenai Proporsi Pengeluaran Makanan Penduduk Miskin, lanjut dia ukuran Garis Kemiskinan (GK), terdiri dari Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Bukan Makanan (GKBM). Peranan GKM terhadap GK sangat dominan, ini diartikan sebagai proporsi pengeluaran untuk makanan pada penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan lebih besar dari pengeluaran untuk non makanan, di Kota Pontianak pada periode 2004-2006 pengeluaran penduduk miskin untuk makanan menunjukkan trend menurun, Pada tahun 2007 persentase pengeluaran penduduk miskin untuk makanan menunjukkan kecenderungan meningkat hingga 65,12 persen terhadap rata-rata pengeluaran sebulan, bahkan proporsi pengeluaran untuk makanan penduduk di bawah garis kemiskinan secara nasional semakin meningkat yaitu mencapai 73,6 persen pada bulan Maret 2009 dan 73,5 persen pada bulan Maret 2010. Tingginya proporsi pengeluaran makanan terhadap total pengeluaran menyebabkan kelompok penduduk yang berada dekat dengan garis kemiskinan sangat rentan dengan kenaikan harga bahan makanan, Meningkatnya harga pangan bisa berakibat meningkatnya angka kemiskinan.

Dua faktor untuk menghitung angka kemiskinan, yakni ukuran garis kemiskinan dan pendapatan. Sementara angka kemiskinan dipengaruhi oleh kemampuan atau daya beli orang miskin dalam mempertahankan kebutuhan dasarnya, pemenuhan kebutuhan dasar setiap orang berbeda, yakni bisa berasal dari pendapatan pribadi maupun kombinasi antara pendapatan masyarakat dan efektivitas bantuan pemerintah melalui berbagai program pengentasan kemiskinan yang dilaksanakan. Orang yang berpendapatan tak cukup tapi kebutuhan dasarnya dipenuhi dari raskin, jamkesmas, BOS, bantuan rumah layak huni dan semacamnya, dapat terhindar dari kemiskinan.

Tingginya inflasi Bahan makanan dapat dijadikan bahan evaluasi dalam menanggulangi kemiskinan, mengingat proporsi pengeluaran penduduk miskin untuk makanan sangat besar, Pemerintah daerah bisa berperan aktif dalam upaya pengendalian inflasi terutama dari sisi suplai, dengan menjaga kesinambungan suplai terutama bahan pokok (beras, minyak goreng, gula dan lainnya) terhadap permintaan. Bank Indonesia mengendalian inflasi dari instrumen moneter seperti pengaturan suku bunga, menjaga nilai tukar, sementara inflasi didaerah lebih disebabkan oleh persoalan supply.



Sumber:





Tidak ada komentar:

Posting Komentar